PT PLN (Persero) baru-baru ini mengumumkan pencapaian laba bersih yang fantastis sebesar Rp 22 triliun di tahun 2023. Prestasi ini disambut meriah dengan berbagai pujian, melabelikannya sebagai "hattrick", "top", dan "moncer". Bahkan, pencapaian ini diklaim sebagai yang tertinggi dalam sejarah perusahaan. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengaitkannya dengan transformasi menyeluruh selama 3 tahun terakhir.
Namun, di balik gempuran pujian tersebut, muncul analisis mendalam yang mempertanyakan realitas dan keabsahan pencapaian ini. Analisis ini menitikberatkan pada peran krusial subsidi besar yang diterima PLN dari skema Harga DMO (Domestic Market Obligation) batubara untuk PLTU batubara.
Skema DMO dan Dampaknya pada Laba PLN
Skema DMO batubara diberlakukan sejak tahun 2018, mewajibkan perusahaan tambang batubara mengalokasikan 25% produksinya untuk kebutuhan dalam negeri dengan harga yang ditetapkan pemerintah, yaitu $70 per ton untuk kalori 6.300 gar.
Meskipun harga DMO saat itu tidak jauh berbeda dengan harga pasar, dalam 2 tahun terakhir terjadi kesenjangan yang signifikan. Pada tahun 2023, harga pasar batubara rata-rata mencapai $200-$300 per ton, dan di tahun 2024, berkisar di $140an per ton. Artinya, harga pasar 2-3 kali lipat lebih tinggi dari harga DMO yang ditetapkan.
Kondisi ini menguntungkan PLN secara signifikan, karena biaya pembangkit listrik menjadi jauh lebih murah. Perlu diingat bahwa 66% pembangkit listrik di Indonesia berasal dari PLTU batubara. Keuntungan yang diperoleh dari selisih harga DMO dan harga pasar ini terbilang sangat besar.
Sebagai gambaran, harga DMO untuk kalori 4.200 gar saat ini sekitar $39-40 per ton, sedangkan harga pasarnya di platform ICI 4 mencapai $55-$57 per ton. Selisih harga ini mencapai $15 per ton. Konsumsi batubara untuk PLTU di tahun 2023 mencapai 120 juta ton (PLN dan IPP).
Dengan perhitungan sederhana, subsidi batubara yang dinikmati PLN dari skema DMO ini mencapai 120 juta ton x $15 x Rp15.000 = Rp2,7 triliun.
Pertanyaan Kritis dan Dampak Lebih Luas
Angka fantastis ini menimbulkan pertanyaan kritis terkait kontribusi riil transformasi internal PLN dalam pencapaian laba bersih tersebut. Apakah laba ini murni hasil dari efisiensi dan strategi bisnis yang tepat, atau sebagian besar disumbang oleh subsidi DMO yang menguntungkan?
Lebih jauh lagi, skema DMO ini dikhawatirkan menghambat transisi energi di Indonesia. Dengan memberikan subsidi terselubung kepada PLTU batubara, skema ini memperlambat peralihan ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Hal ini dikhawatirkan dapat menunda pencapaian target emisi nol bersih yang telah dicanangkan oleh pemerintah, serta memperparah dampak perubahan iklim.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Meskipun laba bersih Rp 22 triliun patut diapresiasi, penting untuk memisahkan kontribusi transformasi internal PLN dari keuntungan yang diperoleh dari skema DMO batubara.
Pemerintah perlu mengevaluasi ulang skema DMO ini secara menyeluruh, mempertimbangkan keberlanjutan dan keadilan dalam sektor energi, serta dampaknya terhadap transisi energi dan pencapaian target emisi nol bersih.
Berikut beberapa rekomendasi yang perlu dipertimbangkan:
- Evaluasi Skema DMO: Lakukan evaluasi menyeluruh terhadap skema DMO batubara, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap transisi energi, subsidi terselubung, dan potensi distorsi pasar.
- Meningkatkan Transisi Energi: Mempercepat transisi energi dengan mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan, seperti PLTS dan PLTG.
- Meningkatkan Efisiensi PLTU: Meningkatkan efisiensi PLTU batubara yang ada untuk mengurangi emisi dan emisi gas rumah kaca.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan PLN, termasuk subsidi DMO dan penggunaannya.
Dengan langkah-langkah yang tepat dan terukur, Indonesia dapat mencapai keseimbangan antara keuntungan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan tanggung jawab global dalam memerangi perubahan iklim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar